Saya, Seorang Wanita Bali

Selamat Hari Kartini untuk seluruh wanita Indonesia. Seluruh wanita yang merasa menjadi orang Indonesia dan cinta Indonesia. Hari ini tepat tanggal 21 April, ulang tahun Bagas, yeayyyy,, hahaha ngga nyambung tidak apa-apa, setidaknya karena Hari Kartini inilah saya tidak akan pernah lupa ulang tahun adik bungsu saya yang ganteng.

Beberapa bulan ini gatel banget pengen nulis tentang perempuan Bali. Kenapa? Karena saya merasa ada yang unik dengan perempuan Bali. Bukan semata-mata karena saya termasuk di dalamnya. Tetapi berdasarkan pengamatan saya, ada sesuatu yang berbeda dengan perempuan Bali.

Pas tadi pagi lewat di meja satpam kantor, keliatan ada sebuah koran Bali Post dengan headline yang mencolok mata, liat deh gambar ini

perempuan bali

Tuh kan bener kan apa kata saya, jadi kurang lebih menurut berita di koran tersebut, tingkat pengangguran perempuan di Bali paling rendah dibandingkan daerah lainnya di Indonesia, dan tingkat penggangguran perempuan di Bali juga lebih rendah daripada laki-laki di Bali. Berita ini disertai dengan data-data valid dan bersumber dari Badan Pusat Statistik lohhh. Pertanyaannya Kenapa? Apakah wanita Bali dituntut untuk bekerja dan berpenghasilan?

Ini jawaban saya. Isi tulisan ini murni opini saya pribadi, jika ada yang mau menambahkan saya persilakan, jika ada yang kurang setuju, tulis saja di komentar semua bebas berpendapat selama masih sopan dan tidak menyinggung SARA.

Mengapa perempuan Bali itu hebat?

Karena banyak hal, pertama perempuan Bali itu multi tasking, sebagian besar perempuan adalah kaum yang multi tasking, bisa melakukan banyak pekerjaan di saat bersamaan, mungkin itu sudah menjadi kelebihan tersendiri bagi perempuan. Dalam hal ini, yang saya sebut dengan istilah multi tasking adalah perempuan Bali yang bisa berperan dalam keluarga ( sebagai ibu, istri atau bahkan nenek), berperan dalam pekerjaan ( baik yang menjadi pekerja kantoran, wira usaha, ataupun pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah tetapi masih menunjang ekonomi keluarga) dan satu lagi yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan lainnya di Indonesia, perempuan Bali berperan penting dalam urusan agama dan adat, sebagian besar urusan agama dan adat Hindu Bali dilakoni oleh kaum perempuan, jika ada persiapan suatu upacara, silahkan dibandingkan porsi waktu dan tenaga antara perempuan dan laki-laki. Ibu-ibu atau kaum perempuan warga banjar “ngayah” hampir setiap hari untuk menyambut suatu upacara di pura, sedangkan kaum laki-laki hanya datang saat-saat tertentu saja, setidaknya begitulah yang saya lihat sehari-hari di desa tempat tinggal saya.

Kedua, jadi perempuan Bali harus pintar menyesuaikan diri dengan lingkungan minimal lingkungan rumah, karena saat seorang perempuan Bali menikah dan tinggal di rumah suaminya, tidak jarang mereka harus tinggal di rumah mertua, dan sampai dengan saat ini masih banyak rumah di Bali yang dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga dalam satu halaman rumah. Jadi dalam satu halaman, ada beberapa rumah yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga, di sana ada mertua, ada ipar, ada sepupu suami, ada kakek nenek suami, ada paman bibi suami dan  famili lain, semakin banyak anggota keluarga, semakin rame lah rumah itu. Dalam situasi begini, seorang istri yang notabene adalah “orang baru”, harus menyesuaikan diri dengan kondisi di keluarga tersebut. Sangat banyak terjadi, saat masuk ke rumah suami, ada ketidakcocokan dengan kondisi di rumah tersebut, yang membuat mereka tidak nyaman tinggal di dalam rumah, atau bahkan mencari jalan untuk segera keluar, baik dengan jalan mencari tempat kos, kontrakan atau tinggal di rumah sendiri bagi yang punya tanah sendiri. Kalau sudah begini, no comment deh, semua kembali ke rumah tangga masing-masing saya tidak berhak menilai, saya hanya menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi dengan perempuan Bali.

Ketiga, perempuan Bali perempuan yang super sibuk, kembali ke poin 1, karena begitu banyak peran yang harus dilakukan, sehingga setiap harinya, kegiatan seorang Ibu khususnya dimulai dari mengurus keluarga ( suami dan anak-anak), dilanjutkan dengan pergi bekerja (jika tidak bekerja di rumah), pulang kerja dilanjutkan dengan mengerjakan pekerjaan adat dan agama ( setidaknya membuat “banten” persembahan untuk sehari-hari), ini belum termasuk saat ada upacara tertentu di Banjar atau di rumah, harus menyempatkan diri untuk bersosialisasi dalam hal adat dan agama di waktu liburnya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk “Me Time”.

Keempat, perempuan Bali ingin selalu memiliki penghasilan untuk membantu ekonomi keluarga, kenapa saya berpendapat seperti ini? Karena saat waktu senggang, perempuan Bali juga tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakan, syukur-syukur kalau hasil “kerajinan tangannya” (biasanya berupa sarana upacara) bisa dijual untuk membantu ekonomi keluarga, tetapi kalaupun tidak, setidaknya barang-barang yang mereka hasilkan tersebut pasti bermanfaat sehingga tidak usah membeli saat dibutuhkan, jadi lebih hemat kan???

Mungkin segitu saja cukup dulu yah, kalau ada yang kurang bisa ditambahkan sendiri, terlalu banyak yang harus saya ceritakan. Ohhh iya ini sudut pandang saya tentang sebagian besar wanita Bali, tetapi tidak jarang kok sekarang ini wanita Bali yang sudah jadi perempuan jaman now, yang aktif di medsos dengan foto-foto “ngayah”nya, atau sekedar nongkrong cantik di St*rbuck sambil selfie lalu diupload di medsos, menjadi model karena maraknya dunia per-Instagram-an, atau menjadi pembicara di forum-forum penting,,,, tetapi tidak lupa satu pesan saya kalau ke Pura tetap nyuun keben yah jangan malu.

KARENAAAAA

Kita bisa, kita perempuan HEBAT !!!!

Salam dari Mamak Kembar 🙂

Tinggalkan komentar